“Tapi saya pastikan Bapak Ibu sekalian, KPK itu tidak pernah ya menangkap kepala desa atau lurah, saya pastikan itu, karena apa? UU KPK nggak memungkinkan,” kata Alex dalam acara Peningkatan Kapasitas kepada Kepala Desa/Lurah Berprestasi Pemenang Lomba Desa/Kelurahan tahun 2023 di Gedung Juang lantai 3, Gedung KPK Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (16/8/2023).
Alex mengatakan KPK akan melakukan penindakan jika dana korupsi kepala desa melebihi Rp 1 miliar. Menurutnya, hal itu tidak mungkin terjadi lantaran dana desa juga sebesar Rp 1 miliar.
“Jadi bukan tidak ada, sifatnya UU KPK itu memang membatasi kewenangan. Kalau perkara yang ditangani KPK itu hanya kalau menyangkut penyelenggara negara, aparat penegak hukum dan kerugiannya di atas Rp 1 miliar. Kalau bapak ibu di desa itu sekarang ada dana desa itu rata-rata berapa itu, Rp 1 miliar ya. Nah itu kalau misalnya itu dikorupsi semua, ya mungkin baru KPK akan turun. Tapi kan nggak mungkin, diberikan Rp 1 miliar diambil semua,” ujarnya.
Alex mengatakan salah satu penyebab para pejabat melakukan korupsi adalah untuk mengembalikan modal saat kampanye. Berdasarkan survei yang dilakukan KPK bersama Kemendagri, menurut Alex, setiap calon yang ingin maju sebagai bupati atau wali kota harus menyiapkan anggaran Rp 20-30 miliar.
“Tapi sekali lagi, Bapak Ibu sekalian, persoalan korupsi secara umum tadi saya sampaikan, ini selalu diawali dari hasil pemetaan kami di KPK, kenapa banyak pejabat, penyelenggara negara ya termasuk mungkin juga kepala desa kemudian melakukan tindak pidana korupsi ternyata salah satunya apa? Karena biayanya, untuk menjadi pejabat itu mahal. Untuk menjadi anggota DPRD itu mahal, menjadi bupati, wali kota mahal, gubernur mahal, saya nggak tahu kalau untuk jadi presiden berapa,” kata Alex.
“Paling tidak dari survei Kemendagri ya, itu bersama-sama KPK, saya sampaikan untuk jadi bupati atau wali kota, itu calon itu harus mengandarkan dana sekitar Rp 20-30 miliar, itu belum tentu menang loh, belum tentu menang. Kalau menang harus dilipatgandakan, karena apa? Dari survei kami di KPK, semakin besar anggaran yang dialokasikan itu kemungkinan menang itu semakin tinggi. Karena apa? Masyarakat kita, Bapak Ibu sekalian, itu cenderung memilih calon yang memberikan lebih gede dibanding yang lain,” lanjutnya.
“Seperti dikutif dari detikcom
Dia mengatakan KPK mengusung tagline ‘Hajar Serangan Fajar’ untuk Pemilu 2024. Alex mengatakan KPK mendeteksi adanya fenomena ‘bagi-bagi rejeki’ jelang pemilu.
“Hajar serangan fajar karena kami mendeteksi Bapak Ibu sekalian, bahwa menjelang pencoblosan itu ya itu tadi, ada yang bagi-bagi rejeki, apalah istilahnya di situ, itu yang ditunggu masyarakat. Artinya apa bapak ibu sekalian? Kalau dari satu sisi aja demokrasi kita seperti itu, biayanya sangat mahal karena masyarakat juga menuntut dari calon itu untuk memberikan sesuatu, saya membayangkan apa jadinya ketika para calon anggota DPRD, calon kepala daerah ketika mereka kemudian terpilih dan mulai berhitung, kemarin saya keluar duit berapa, dibagi 60 bulan bapak ibu sekalian, karena 5 tahun menjabat,” tuturnya.
Alex mengatakan, jika kepala desa mengeluarkan modal Rp 30 miliar untuk kampanye, modal itu tidak akan kembali. Dia pun mencontohkan perhitungan kembali modal tersebut.
“Kalau dia keluar duit itu Rp 30 miliar dibagi 6 berarti 1 tahun dia harus dapat Rp 6 miliar lalu Rp 6 miliar dibagi 12 berarti dia harus dapat Rp 500 juta. Padahal gaji kepala daerah itu, Bupati itu tidak sampai segitu Bapak, Ibu, Saudara, nggak sampai. Artinya apa? Tekor. Untuk balik modal itu dia harus dapat modal Rp 500 juta, bersih loh Bapak Ibu sekalian. Artinya, dia puasa ditabung terus buat biaya, kan gitu kan,” kata Alex.
“Dan saya pastikan itu nggak akan nutup dengan penghasilan resmi yang diterima oleh kepala daerah. Ini dampaknya yang terjadi ya itu korupsi. Sudah banyak Bapak Ibu sekalian para pejabat negara terutama kepala daerah, mulai dari wali kota, bupati, dan gubernur, dan termasuk anggota DPRD dan DPR itu yang kita tindak. Yang kita tindak karena melakukan korupsi, dan saya mendapat informasi juga Bapak Ibu sekalian, bahkan model begini sudah menjalar di pilkades. Ini juga fenomena yang terjadi Bapak, Ibu, Saudara,” lanjutnya.
Alex mengatakan penindakan terhadap kepala desa bukan ranah kewenangan KPK. Namun dia menyebutkan temuan kepala desa yang korupsi bisa disampaikan kepada kejaksaan, kepolisian, dan inspektorat.
“Tetapi, sekali lagi bapak ibu sekalian karena desa itu bukan wilayahnya KPK untuk melakukan penindakan, kita sampaikan kalau itu bentuknya itu penyimpangan korupsi kita sampaikan ke Kejaksaan, ke kepolisian. Kalau masih bisa dilakukan pembinaan kita sampaikan ke inspektorat,” ujarnya.
(Editor:Tim media ampera news-DN-PRY)
Discussion about this post